![]() |
Hasanul Amri (Awal Mula Masuknya Agama Islam ke Simeulue) |
A.
Tengku Khalilullah Alias Tengku Diujung
1. Tanah Kelahiran Tengku Khalilullah
Ada beberapa
literatur yang menceritakan Sejarah Tengku Khalilullah di antaranya tulisan Bijdragen tot de Taal
Land en Volkkenkunde van Nederlandsch Indie (1912) menyebutkan bahwasanya penduduk Simeulue
telah menganut agama Islam yang dibujuk seorang Melayu yang bernama Khalilullah
yang datang atas perintah Sultan Aceh untuk membawa Islam ke pulau Simeulue
hingga ia wafat di sana dan dimakamkan di ujung Pulau Simeulue.[1]
Literatur yang lain dalam tulisan H.W. Fischer dalam
jurnal Belanda “Tengku Chalelullah”
mengatakan bahwa Tengku Khalilullah atau dikenal juga dengan nama Tengku Diujung alias Syeikh Leubeh Nalir diperkirakan lahir
pada abad ke-16 tepatnya pada tahun 1558 Masehi.[2] Tulisan Roth Loft dan Martinus Nijof (1880) masuknya agama
Islam disebarkan oleh Khalilullah yang diutus oleh seorang raja dari Kerajaan
Aceh untuk menyiarkan agama Islam di sana.[3] Tulisan Kern, R. A. (1927) masuknya agama Islam di Simaloeh
disebarkan oleh Mohammadaan. Dia merupakan orang yang shaleh dan pergi bersama
para pengikutnya ke Simalur. Mereka segera menangkap Songsong Bulu
(Bakokoe). Namun, ia tetap diberi pengampunan dengan syarat ia tidak lagi
mengganggu negara (daerah) dan penduduknya serta rajin bekerja sama dalam
penyebaran Islam. Mohammadaan (Tengku Khalilullah) dari Ulákan yang
saleh memiliki hak untuk menyelesaikan dan menangani semua masalah agama,
perceraian, warisan, dll. di Simaloeh.
Mohammadaan seorang muslim yang taat dan terpelihara,
makamnya dimuliakan sebagai suci dan menurut tempat pemakamannya disebut Tuangku
di Oendjoeng. Budak yang menyelamatkan negaranya dan rekan senegaranya dan
melalui wanitanya yang diagungkan si Meuloer, yang memberi keterangan kepada Tuangku
di Oendjoeng.[4] Tulisan Jauhari Ishak (1984) dalam Hikayat Putroe Meulue atau Putri
Melur yang menerangkan pada saat itu masih ada sebuah pulau yang belum ada
hubungan dengan Kerajaan Aceh. Karena itu, rakyat di pulau itu belum beragama
Islam. Sultan Acceh berusaha supaya pulau itu menjadi wilayah kerajaan Aceh. Demikian
juga supaya rakyatnya memeluk agama Islam. Oleh karena itu, Sultan mengirim
Teungku Di Ujöng ke pulau itu. Tgk. Di Ujöng menyiapkan sebuah perahu bersama
dengan istrinya Putroe Meulue. Setelah siap berlayarlah beliau menuju ke
pulau itu. Masyarakat Simeulue akhirnya memeluk agama Islam. Tulisan Ali Fahmi,
(2008) “Sejarah Masuknya Agama Islam di Pulau Simeulue” dan tulisan
Azharuddin Agur, dkk. (1996) dalam buku “Bunga Rampai Simeulue” dan
hasil wawancara dengan tokoh-tokoh sejarawan Simeulue tentang alur dan proses
awal mula masuknya Agama Islam di Pulau Simeulue.[5]
Tulisan-tulisan tersebut lebih menceritakan detail
tentang proses penyebaran agama Islam dan perjalanan kehidupan Tengku
Khalilullah dari Kesultanan Aceh menuju pulau Simeulue. Tengku Khalilullah atau Tengku Di Ujung hidup dalam
masa periode pemerintahan Kesultanan Aceh yakni pada masa pemerintahan:
1.
Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar, memerintah tahun
(1537-1568) Masehi,
2.
Sultan Sri Alam, memerintah pada tahun (1575-1576)
Masehi,
3.
Sultan Zain al-Abidin, memerintah tahun (1576-1577)
Masehi,
4.
Sultan Ala’ al-Abidin, memerintah tahun (1577-1589)
Masehi,
5.
Sultan Buyung, memerintah pada tahun (1589-1596)
Masehi,
6.
Sultan Alauddin Riayat Syah IV Saidil Mukamil,
(1589-1604) Masehi,
7.
Sultan Muda Ali Riayat Syah V, (1604-1607) Masehi,
dan
8.
Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam, memerintah tahun
(1607-1636) Masehi.[6]
Tengku Khalilullah (Syeikh Leubeh Nalir) lahir di Ulakan, Padang
Pariaman, Sumatera Barat. Ia dibesarkan di kerajaan Islam Pagaruyung, Sumatera
Barat. Menurut legenda Minangkabau, Kerajaan Pagaruyung didirikan oleh Datuk
Ketumanggungan, yang merupakan salah satu keturunan dari empat datuk pembawa
adat yang dianggap suci yaitu Rajo Gudanggo, Tuangku Lubuk Si Dukung, Raja
Batuah, dan Raja Padang Manggis. Kerajaan ini merupakan salah satu kerajaan
tertua di wilayah Sumatera Barat dan dipercaya telah ada sejak abad ke-14.[7]
Raja-raja
Pagaruyung dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan memegang kekuasaan yang
besar dalam sistem pemerintahan adat Minangkabau yang dikenal dengan nama
"Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah," (Duski Samad,
2003). Kerajaan Pagaruyung pada abad ke-16 masih di bawah pengaruh Kerajaan
Aceh dengan kepemimpinan Sultan Iskandar Muda yang mencapai puncak kejayaannya.
Pada masa ini, Aceh berhasil
memperluas wilayah kekuasaannya di sebagian besar wilayah Sumatera dan juga
wilayah-wilayah sekitarnya, termasuk beberapa wilayah di Sumatera Barat. Aceh
mampu melakukan ekspansi ke Sumatera Barat melalui perluasan wilayah kekuasaannya
dan juga melalui perjanjian dengan kerajaan-kerajaan setempat termasuk kerajaan
Pagaruyung.
Pengaruh Aceh memasuki abad ke-19 mulai memudar karena Aceh dan Belanda terlibat dalam perang yang dikenal sebagai Perang Aceh. Konflik ini berlangsung dari tahun 1873 hingga 1904, di mana Belanda berusaha menguasai wilayah Aceh yang pada saat itu merupakan kerajaan yang berdaulat hampir dikeseluruhan wilayah Sumatera. Usaha Belanda merebut wilayah Aceh telah dilakukan dengan berbagai upaya tetapi tetap tidak membuahkan hasil hingga akhirnya pada tahun 1904 Aceh berhasil ditaklukan, (Aris Faisal Djamin, 2021).